karakterunsulbar.com- Dosen Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), yaitu Dr. Dian Fitri Sabrina, S.H.,M.H, S. Muchtadin Al-Attas, S.H.,M.H, Dr. Muhammad Saad, M.A, bersama ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017, Prof. Muhammad, S.IP., M.Si, mengajukan permohonan uji materil terkait ambang batas minimal atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Presidential threshold dalam Pasal 222 UU No. 17 Tahun 2017 diujikan terhadap Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Menurut para pemohon, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mengebiri kemandirian Partai Politik (Parpol) dalam mengusungkan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dikarenakan Parpol secara sistemik dipaksa melakukan penggabungan Parpol untuk memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20% dari kursi DPR pada Pemilu sebelumnya atau memperoleh 25% suara sah secara nasional pada Pemilu sebelumnya.
Pengebirian terhadap kemandirian Parpol terlihat pada setiap kontestasi Pemilu, misalnya pada Pemilu tahun 2019 di mana PDIP memperoleh suara 27.053.961 atau setara dengan 19.33% dari total 139.971.260 suara sah nasional. Hasil ini menjadikan PDIP sebagai Parpol pemenang Pemilu tahun 2019, namun tetap harus melakukan koalisi dengan Parpol lain untuk memenuhi syarat ambang batas dalam Pasal 222 UU Pemilu.
“PDIP sebagai pemenang Pemilu tahun 2019 saja harus melakukan koalisi dengan Parpol lain agar dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, bagaimana dengan Parpol lain yang notabene mendapatkan suara lebih rendah? tentu mereka harus berkoalisi lebih banyak, dan ini tidak adil”, tutur Dr. Dian Fitri Sabrina, S.H., MH kepada jurnalis Karakter Unsulbar saat ditemui di Gedung MK, Jakarta (05/08/2024).
Menurutnya, syarat ambang batas minimal mempersulit Parpol dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dinilai bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bahwa Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu sebelumnya.
“Pasal ini seharusnya memberikan pilihan bagi Parpol untuk mengusung calon secara mandiri atau berkoalisi, tapi ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, memaksa berkoalisi dan mempersempit kemandirian Parpol”, terang Dr. Dian.
Melalui uji materil dengan Perkara No. 87/PUU-XXI/2024 para pemohon memohonkan agar dilakukan rekonstruksi (perbaikan) aturan mengenai ambang batas maksimal dalam Pasal 222 UU Pemilu dengan mengusung gagasan ambang batas maksimal.
Dalam sidang pendahuluan yang dilaksanakan pada Senin, 5 Agustus 2024 di Ruang Sidang Lantai 2 Gedung MK, Jakarta, pemohon menyampaikan beberapa alasan dilakukannya uji materil, yaitu:
Ambang Batas Maksimal
Gagasan ambang batas maksimal merupakan gagasan bahwa ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh perolehan suara tertinggi atau persentase suara yang didapatkan oleh Parpol pemenang Pemilu pada Pemilihan sebelumnya.
Sebagai contoh: Jika pada Pemilu sebelumnya Partai A memenangkan Pemilihan dengan persentase suara sebesar 19%, maka ambang batas yang ditentukan adalah 19%. Dengan demikian, Parpol A sebagai pemenang Pemilu sebelumnya dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden tanpa melakukan koalisi dengan Parpol lain.
Di sisi lain, Parpol dengan perolehan suara di bawah 19% dapat melakukan koalisi dengan Parpol lainnya untuk memenuhi syarat ambang batas maksimal tersebut. Dengan ketentuan ini, amanat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dapat dilaksanakan, yaitu mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol (satu Parpol atau gabungan Parpol).
Kedudukan Parpol dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dimaknai bahwa Parpol memiliki kedudukan yang sama dalam mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Namun dengan ambang batas dalam Pasal 222 UU Pemilu, kedudukan yang sama tersebut terkesan dikebiri sehingga gagasan ambang batas maksimal dijadikan solusi pada uji materil tersebut.
Penguatan Hak Politik Minoritas
Hal politik mayoritas merupakan hak Parpol yang memiliki kursi paling banyak di DPR, pemegang hak politik ini dapat mengusungkan calonnya secara mandiri. Pemegang hak politik (Parpol) ini dijadikan patokan bagi Parpol lain untuk melakukan koalisi dalam mengusung calonnya.
Hak politik minoritas merupakan hak Parpol yang memiliki kursi paling sedikit di DPR. Pemegang hak politik ini dapat mengusung calonnya dengan cara berkoalisi dengan Parpol lain dengan ketentuan tidak melampaui persentase Parpol pemenang.
Melalui ambang batas maksimal, hak suara minoritas (Parpol dengan persentase suara kecil) dengan syarat menjadi peserta Pemilu sebelumnya mendapatkan kesempatan yang sama dengan Parpol lainya.
Dengan demikian, melalui gagasan ambang batas maksimal ini, hak politik minoritas dan mayoritas memiliki kedudukan yang sama. Selain itu juga mengimplementasikan amanat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden baik oleh satu Parpol atau dari gabungan Parpol.
Penguatan Sistem Demokrasi dan Pemilu
Salah satu ukuran kontestasi yang demokratis adalah penyelenggaraanya harus menjamin tersedianya ruang atau peluang bagi rakyat untuk memanifestasikan kedaulatannya memilih pemimpin melalui alternatif-alternatif yang disediakan Parpol.
Hal demikian sejalan dengan Declaration on Criteria for Free Fair Election, bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih secara luas asalkan diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol. Karenanya dikatan dalam Konstitusi melalui Pasal 6A ayat (2) bahwa pencalonan dapat dilakukan oleh Parpol atau gabungan Parpol.
Ambang batas maksimal akan membatasi munculnya koalisi besar dan melahirkan beberapa calon yang dapat dipilih oleh rakyat. Karenanya, Pemilu yang demokratis dan adil akan tercipta melalui gagasan ambang batas maksimal.